Jadi jurnalis bukanlah salah satu dari daftar bucket list saya. Tapi kembali menulis termasuk diantaranya.

Pikiran saya bertolak mundur, tepat kepada hari Senin tanggal 25 November 2013. Tepat dua tahun setelah saya menamatkan kuliah Diploma dan awal mula ‘keriuhan’ hidup saya dimulai. Saat itu, saya merasa kembali ke dunia saya setelah tiga tahun berkutat di ilmu kesehatan, bidang Sanitarian.

Berawal dari diterimanya saya oleh salah satu majalah wanita di Bali sebagai jurnalis, saya mulai merasa saat itu, inilah kesempatan saya untuk mengejar passion yang telah saya abaikan selama tiga tahun. Dua bulan menganggur semenjak acara wisuda bulan September, akhirnya saya memutuskan untuk melamar di sebuah majalah bertajuk Emvee Magazine. Awal mulanya saya memang bergiat di bidang sastra, sejak masih sekolah menengah aktif mengikuti acara kepenulisan, dan kata Bapak mungkin bakat saya memang di dunia tulis-menulis. Agak sedih juga sih, ketika saya menentukan untuk kuliah di bidang sastra (Indonesia), orang tua kurang setuju. Mungkin mereka berasumsi bahwa sastra tidak bisa dijadikan pekerjaan tetap, melainkan hobi semata. Hmm.. baiklah, saya mengerti. Mengikuti anjuran orangtua tentu tidak ada salahnya, pikir saya saat itu.

Malang melintang di dunia kesehatan, mengikuti praktek antara merasa nyaman dan tidak nyaman, I was just trying to make my parents proud of me. Itu saja. Saya cuti menulis dengan batas waktu yang belum ditentukan. Dulu, seorang guru bahasa Indonesia saya sering memberi support untuk mengikuti lomba cerpen, essai, dan jenis karya sastra lain. Hingga saat itu saya masih tetap mendapat support sampai sebelum Beliau mendapatkan beasiswa kuliah di Jerman. Beliau rajin meng-email, mengirimi saya pesan Facebook sampai akhirnya bertemu lagi pada Hari Raya Saraswati di sekolah (dengan status saya sebagai alumni SMA tersebut).

“Galuh, sudah kirim cerpennya?”

And the worst thing is: I just ignored his question. Dalam artian saya tidak mengirim satu cerpen pun ke media massa manapun―seperti yang saya lakukan saat SMA. Haduh, maapkeun, Pak.

Ketika saya sedikit sulit memperoleh pekerjaan setelah wisuda, saya mulai menyalahkan diri sendiri. Ibu saya mencarikan pekerjaan melalui kenalannya, di salah satu Bank swasta. Oh no, mum! Saya tidak ingin bekerja dalam tekanan ngitungin uang orang yang mana too risky. Entahlah, gara-gara itu saya jadi agak ‘ditindas’ di rumah (hahaha), semakin bandel lah image saya. Akhirnya, voilaa~ saya terdampar menjadi seorang jurnalis di majalah. *tung ta-ra-ra-ra-ra tung*

Well, back to the topic. Meskipun baru seminggu dan ternyata majalahnya sudah naik cetak, saya merasa kembali menjadi diri saya sendiri tanpa harus ditekan sana sini atau takut kehilangan uang milik si itu dan si ini. Menulis kembali sebagai seorang jurnalis adalah SANGAT menyenangkan. Ketagihan! Reporting something new is totally awesome! Sebelas dua belas dengan keautisan saya ketika bertemu orang baru.

Menulis seolah menjadi kewajiban saya untuk tahu lebih banyak, mengenal lebih dalam dan membaca lebih intens. Menulis versi saya itu kepuasan saya ketika membuat tulisan tidak berbayar, tapi memberi inspirasi bagi orang banyak. Menulis itu menjadi ‘sesuatu’ jika isi di dalamnya jujur dan memuat ciri khas diri sendiri. Sulit memang melatih diri untuk menjadi penulis dengan karakter yang ‘matang’ tetapi jika menulis memang menjadi passion dan mendarah daging, jadi kenapa harus merasa terbebani jika ingin menjadi penulis hebat?

Meskipun saat ini saya tidak bekerja di majalah tersebut (kabar terakhir yang saya dengar, perusahaannya closed down), namun saya masih menulis. Kalau dipikir-pikir, menjadi seorang jurnalis saat itu adalah awal mula saya menulis (lagi). Berkali-kali saya mencoba meng-encourage diri sendiri untuk bisa bangkit dalam membuat tulisan-tulisan baru, tapi nyatanya belajar menulis seperti mempelajari Bahasa Inggris, Jerman, Perancis dan Korea dalam waktu yang bersamaan. Ah, bahkan lebih sulit dari itu. Menulis memang gampang kelihatannya, namun yaaa… yang terlihat saja sih.

Penulis jaman sekarang sudah tidak kehabisan media untuk berkarya. Bahkan bisa dibilang melimpah ruah! Sosial media, blog, Wattpad, website pribadi (jika kamu punya cukup uang untuk membayar domain hihihi), diary di smartphone, notepad, Ms. Word, buku catatan, kertas kosong, post-it yang berwarna-warni, dan bahkan media cetak. Mulai dari sifatnya published hingga private. Biarpun tulisan itu sifatnya simple seperti memo di depan lemari es atau sifatnya ruwet dengan sejuta kosakata absurdnya. Baik yang terlihat dan tidak terlihat (pikiran).

Biarpun hanya konsep, meski di otak, masih perlu kita kembangkan untuk berimajinasi membentuk ilustrasi gambar. Lalu dijabarkan.

Bukankah itu juga menulis?

Thank you for reading, fellas!
Lots of love,