“Kenapa kau suka hitam?” tanyaku pada suatu hari. Awal mula perkenalan itu, membuahkan sebuah percakapan tentang warna kesukaan kami. Gadis manis berlesung pipi di hadapanku ini mengernyit heran menanggapi pertanyaanku.

“Pernahkah aku mengatakan hal itu?” tanyanya berbalik. Matanya yang bening terlihat fokus pada satu titik. Menghindari tatapanku.

“Tapi dirimu sendiri pernah bilang, kalau kau hanya suka melihat hitam. Biasanya perempuan suka warna merah muda, biru, hijau, yang cerah-cerah. Biar tambah manis,” lanjutku polos. Ya, umurku waktu itu baru beranjak sepuluh tahun. Aku, juga gadis itu tepatnya.

“Kau sendiri kenapa suka hitam? Padahal kau juga perempuan,” balasnya ringan.

“Aku… ya… karena aku suka. Aku tak suka jadi perempuan manis.”

“Kenapa?”

“Aku selalu melihat kakak-kakakku menggunakan aksesoris berwarna cerah, supaya terlihat manis. Tapi aku? Tidak akan! Ah, aku tak suka! Menggelikan!” Aku mengucapkannya seperti melihat cacing tanah sedang menggeliat di dekat kakiku. Aku meringis membayangkannya.

“Jawabanmu aneh!” serunya sembari tertawa.

“Kau punya saudara perempuan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Diam. Suasana mendadak hening. Ia menghela nafas, terdengar seperti sedang menghempaskan beban beratnya secara halus. Aku menoleh, memandang wajahnya dengan saksama. Lalu mengalihkan pandanganku ke satu titik juga, sama seperti gadis itu.

“Maaf…”

Beberapa detik terlewat digantikan dengan suara ramainya anak-anak bermain dan begitu juga hembusan angin. Vakum. Aku menunggu hingga gadis itu mengatakan sesuatu. Sampai akhirnya, ia bicara setelah kami terdiam begitu lama.

“Ehm… tak apa. Kalau dihitung-hitung, aku hanya tinggal sendirian. Tanpa saudara. Bahkan tak punya famili sedarah. Kata ayah angkatku, aku anak adopsi mereka.” Air mukanya berubah muram.

Lagi-lagi sepi menyergap keadaan. Pembicaraanku sudah sedikit mengubah suasana hatinya. Ah, peliknya masalah kami.

“Jadi, bisakah kau jelaskan kenapa kau suka hitam?”

Aku bingung harus memulai dari mana untuk menjelaskannya. Aku mengingat-ingat cerita kami itu, yang sudah terlewatkan beberapa tahun silam, ketika kami memulai cerita dengan sebuah judul; Hitam. Kemudian aku menertawakan diriku sendiri. Entahlah, apakah aku ini makhluk kecil yang berfikiran dewasa kala itu? Atau malah gadis itu yang membuatku terjebak dalam fikiran masa kanak-kanak, detik ini? Aku sendiri tak mengerti. Gadis itu membuatku skak mat. Padahal, umur kami sama. Tingkat kepolosan yang sama, juga ukuran fisik yang tak jauh beda.

Ah, aku ingat!

“Hidupku hitam, hatiku hitam.”

“Maksudmu, kau orang jahat? Hei, umur kita baru sepuluh tahun!” pekiknya kaget.

“Bukan.” Aku tergelak. “Itu hanya sebuah permainan kata.”

“Aku juga hanya bercanda. Tak pernah aku serius terkaget-kaget seperti itu,” katanya terkikik. “Aku mengerti. Kau tak mengatakannya pun, aku sudah tahu. Sekalipun alasanmu hanya untuk bermain kata.”

“Kau seorang paranormal?” tanyaku heran.

“Semacam itulah,” ucapnya geli. “Ternyata aku lebih kritis daripada kau. Buktinya, aku bisa membohongimu tadi.”

“Aku juga. Aku tidak percaya kalau kau seorang paranormal! Pertanyaanku tadi hanya gurauan. Kau menganggapnya terlalu serius.”

Kami terus tertawa. Meluapkan kisah dan perdebatan lucu tentang sebuah hitam dalam hidup masing-masing untuk sejenak.

Tak lama, kami terdiam. Percakapan panjang dan gelak tawa yang tak jelas arahnya itu membuat kami sedikit merasa terhibur. Saat itu adalah kali kedua aku bertemu dengannya. Gadis kecil yang selalu duduk di taman dekat rumah, yang selalu ramai oleh anak-anak untuk bermain.

“Kau belum menjawab kenapa kau suka hitam,” kataku.

“Itu karena… aku tak ingin melihat kejadian buruk apapun di hadapanku. Mendengarnya saja sudah membuatku sakit hati, apalagi melihat.”

“Nasib kita sama…” gumamku pelan.

“Tidak, kau beda! Kau masih bisa mengubah hidupmu menjadi warna merah muda, hijau, biru, dan sebangsanya! Aku tidak. Semuanya sudah berakhir. Hidupku murni menjadi hitam yang sesungguhnya. Tak ada yang bisa kusukai selain warna itu.” Ia menunduk pasrah. “Aku gadis buta. Bukannya aku merasa menyesal dengan kondisiku sekarang. Aku hanya tak suka dengan ini. Kalau saja aku boleh meminta, aku ingin bisa melihat warna, tanpa melihat bentuknya…”

Lama aku mengamati matanya. Rasanya ada yang menyentil perasaanku. Kenapa wanita mempunyai perasaan yang sensitif sekali? Dari sekian banyak hidup yang telah kuhabiskan untuk menyesal, menggerutu, tidak puas, dan menuntut agar hidupku tidak lagi menjadi sebuah hitam, baru kali ini aku tersudut oleh kata-kata gadis itu. Ia bahkan sama sekali tak menangis. Satu poin penting dari keadaan yang sedang memojokkanku; gadis itu sama sekali tak menangis!

“Lalu maukah kau bercerita kenapa kau mengatakan hidupmu hitam?”

Aku mulai berpikir. Benarkah ia dapat membantuku?

“Itu juga kalau kau tak keberatan, dibantu seorang gadis buta sepertiku.”

Ternyata warna hitam di hidup gadis ini membuatnya sangat peka dengan keadaanku. Instingnya kuat. Ia masih sangat beruntung. Ia adalah orang yang aku cari untuk semua cerita hitamku. Aku tersenyum.

“Keberatan? Tidak sama sekali.”

***

 Aku tercengang. Tak pernah aku membuka pintu rumah dengan keterkejutan yang luar biasa seperti sekarang.

Berantakan.

Hanya itu gambaran kondisi rumah serta isinya yang dapat kukatakan. Selebihnya, aku angkat tangan.

Cermin besar di ruang keluarga menarik perhatianku. Bentuknya sudah pasti tidak utuh lagi. Aku mematut diri di sisa cermin yang retak. Menarik sekali. Diriku menyerupai rupa cermin yang hancur itu. Aku kembali tertawa. Gadis itu mencoba menyusul ke arah suara tawaku.

“Diam saja di tempat tadi. Di sini kacau,” kataku setengah berteriak.

“Kau tak apa-apa? Kenapa suara tawamu begitu mengerikan?” tanyanya bergidik. Wajahnya pucat pasi.

“Tak apa-apa,” jawabku pelan.

Dengan hati-hati aku berjalan ke arahnya. “Aku hanya tertawa melihat kucing yang lewat di pintu belakang.”

“Inikah hitam yang kau maksud?”

Ia tahu, kalau aku sedang membohonginya. Bahkan ia bisa menebak ‘dunia hitam’-ku dengan kata-kata yang membuatku meralat pernyataanku dulu. Sedikit tidaknya aku kini percaya dia itu seorang paranormal, atau apalah.

“Bukan. Ini bukan hitam. Ini hanya sebuah konflik. Mereka masing-masing sedang konflik dengan ego mereka sendiri, dan ego satu sama lain. Ayolah, itu urusan mereka. Kau tak bisa terus menganggap hidupmu itu hitam. Kau anaknya. Mereka pasti mendengarmu.” Ia menasihatiku panjang lebar. Seperti telah hidup bersamaku sejak hidup hitamku itu dimulai. Seperti saudara yang selalu menenangkanku saat hidup hitamku terjadi.

Mulutku yang tiba-tiba saja menganga lebar ketika sedang mendengar hal-hal mengejutkan yang diucapkannya bukan menjadi sesuatu yang asing lagi di hidupku. Ia membuatku takjub. Sangat takjub. Tapi hatiku masih bertentangan dengan apa yang ia ucapkan. Hidupku yang hitam, membuat hatiku hitam. Aku tak sudi untuk menemui orang yang telah membuat hidupku hitam seperti mereka, seperti sarannya.

Ia masih terpaku menungguku untuk beranjak dari ruang tamu. Aku meraih tongkatnya, membantunya berjalan, lalu aku menuntunnya ke taman belakang. Baru sekali ini aku mendapat sahabat tak sempurna, namun dengan hati yang nyaris sempurna. Aku sangat bersyukur.

“Kau mungkin tak mengerti sebenarnya kenapa hidupmu menjadi hitam. Karena kau menutupnya rapat-rapat. Dari keluarga, juga dari orang lain. Padahal banyak orang yang bisa membantumu. Banyak teman sepantaranmu yang bisa kau ajak bermain. Banyak tempat yang bisa kau kunjungi dengan saudara, tetangga, kerabat, teman… tapi kau sama sekali tak pernah mau membuka diri dengan mereka. Kaulah yang membuat hati dan hidupmu seperti itu,” ucapnya tenang.

“Kau menyalahkanku?” tanyaku.

“Tidak. Aku hanya menganalisis. Tolonglah, tenangkan dirimu. Aku tahu kau kesal dengan ucapanku. Maafkan aku. Aku hanya ingin membuat hidupmu kembali normal, tanpa menilainya sebagai sebuah hitam lagi,” katanya dengan nada suara menyesal.

Aku salah. Menuduhnya dengan cara seperti itu. Seharusnya aku bisa menahan emosiku. Semestinya aku mampu menjadi gadis setenang dia. Tapi aku tak bisa. Ia benar. Mendengar kata-kata makian ketika orang tuaku bertengkar saja sangat menyakitkan, apalagi melihatnya. Terlebih saat perabotan rumah melayang, membentur tembok, lalu hancur. Apa mereka tidak pernah ingat benda-benda itu hasil jerih payah mereka? Jadi kesimpulanku, mereka sangat kekanak-kanakan.

Entah kenapa warna hitam begitu memikat. Begitu antusias memengaruhi hidupku.

Ingin sekali aku menjadi buta seperti gadis itu.

Gadis manis ini hanya tersenyum. Membuat hidup hitamku sedikit memudar.

***

“Aku menyerah,” kataku saat aku bertemu dia di suatu malam. Langit begitu hitam pekat, tak ada cahaya benda langit yang menghiasinya.

Ia diam menunggu. Tampaknya ingin memberiku waktu untuk menjelaskan.

“Sudah aku temui mereka berdua. Nampaknya tak akan terjadi perubahan. Lalu, mungkin beberapa minggu atau bahkan beberapa hari lagi aku menjadi seorang broken home. Hidupku makin hitam. Hitam, menghitam, makin pekat, samar-samar, lalu ditelan hidup-hidup.” Aku meracau. Kacau!

Helaan nafasku terdengar amat berat. Seperti orang yang kehilangan selera hidup.

“Aku akan menjauhi mereka. Itu keputusanku,” lanjutku.

“Lalu? Apa yang akan kau lakukan?” ia angkat bicara.

“Untuk siapa? Untuk diri sendiri? Sudah tak ada…”

“Ada! Kumohon, percayalah. Andai saja aku bisa melihat keadaan fisikmu yang sedang terpuruk saat ini, aku pasti akan mengubah hidupmu menjadi warna merah muda, hijau, biru, agar kau menjadi gadis yang lebih manis! Aku yakin sekali badanmu ini semrawut, berantakan, semaput, tak beraturan, kumal, bau…”

Kami tertawa dengan indahnya. Untuk terakhir kali.

Ia benar, aku harus mengubah hidupku.

Pikiranku kembali ke dimensi waktu saat ini.

Semua terasa indah ketika aku merasakan sesuatu yang membuatku memeluk ketenangan. Aku sangat lelah. Aku perlu istirahat.

http://41.media.tumblr.com/4c1e6d5ada7d1e139fa508447dbfc5ce/tumblr_n72q8nNCgX1tyxxluo1_500.jpg

Lalu aku tertidur lelap. Senyumku mengembang saat merasakan darah mengalir pelan dari tanganku dan menghapus hitam hidupku untuk selamanya.

— Amlapura, 9 Juli 2009

Lots of love,