Aku masih tetap berdiri tanpa beranjak sedikitpun. Memikirkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Surat itu kugenggam erat disertai banyak pertanyaan mendengung di saraf otak. Pikiran untuk mendumal itu bertebaran, namun kalimat-kalimat yang tersusun nyatanya masih nyaman meringkuk di sudut kepala. Berdiam pada sebuah gubuk di tengah rerimbunan hutan layaknya menyerahkan diri pada sekawanan macan lapar. Tubuhku mulai menggigil kedinginan. Angin dingin sore hari mengisyaratkan untuk tetap tunduk pada sang empunya tempat. Menghunus tulang tanpa ampun.
Lama bergeming, akhirnya melangkah pulang jadi sinyal kekalahan.
“Kau datang, Wija! Mana Sruti? Aku ingin bertemu dia! Tolong jangan pisahkan kami!” isakan itu kembali meraung kencang. Dadaku sesak, namun naluriku sebagai kakak, haram menangis di depannya. Aku tak sampai hati, melihatnya gila tanpa bisa merasakan kegilaannya. Rumah ini kerap kali berhiaskan tangisan, bak sedang menuai duka yang amat sangat. Tak dapat ku lihat lagi secercah senyum hangat dari bibir mungilnya. Mata itu selalu sembap oleh kesedihan membuncah manakala ia mengingat Sruti, adik bungsuku.
Aku hanya bisa mengelus-elus kepalanya lalu menggeleng samar. Mencoba menyeret batinnya ke dalam ketenangan dengan memberikan boneka milik Sruti. Ia berbicara sendiri, seakan boneka usang itu adalah sosok seorang Sruti. Aku tersenyum getir. Batinku bergemuruh. Lidahku kelu. Ingin rasanya aku berontak. Melihatnya tertawa, tak ada salahnya aku merasa sedikit tenang walaupun sesaat kemudian ia kembali menjerit-jerit menyerukan nama anak itu. Lagi, lagi, dan lagi. Aku bosan.
Tidak ada satu halpun yang benar-benar bisa kulakukan untuknya.
Aku dihanyutkan oleh alam bawah sadar dalam ketenangan semu. Kurebahkan kepala di lipatan siku sembari duduk bersandar di dinding kayu rumah yang sedikit lapuk. Sungguh melelahkan. Tapi sedikit terbayar oleh keceriaannya atas boneka yang paling tidak, bisa meredam emosinya atas perasaan kehilangan ditinggal Sruti. Tak lama kemudian, ia tertidur lelap layaknya ditemani bermain oleh belasan bidadari di alam mimpi. Dengan pelan aku meraih awak boneka kumal yang dipungut Sruti entah darimana. Boneka kumal yang tangannya nyaris putus. Aku menarik boneka itu dari genggamannya, namun tiba-tiba tangan yang nyaris putus itu tersangkut. Sisanya berhasil aku dapatkan. Lalu malapetaka terjadi.
Merasa sadar ia hanya memegang sepotong tangan, refleks ia terbangun. Menjerit-jerit menakutkan.
“Wijaaa… tolong Sruti!! Aku takut! Aaa…!” erangnya. Namun aku diam menampakkan raut wajah bingung. “Tolong aku Wija, aku hanya menggenggam tangannya! Bersimbah darah! Lihat ini, lihat!” Ia menunjuk-nunjuk tangan boneka itu, berhalusinasi. “Aaaa…! tangan Sruti!” Lengking suara terdengar memekakkan telinga. Menjerit tak henti. Berteriak kemudian menyerukan kata-kata kotor. Melempar tangan boneka itu ke arahku. Dalam imajinasinya, tangan itu adalah sepotong tangan milik Sruti yang berlumuran darah dan begitu menjijikkan. Aku tahu, ia menggambarkan kematian Sruti adalah hal paling menakutkan dalam hidupnya. Belakangan ia baru ingat bahwa Sruti telah mati.
Entahlah. Aku sudah kehabisan cara untuk menemukan Sruti. Bahkan jasadnya seolah tertelan perut bumi.
Ia masih bisa ku ajak berkomunikasi, meski hanya sebatas kenangannya bersama Sruti. Tak ada yang lain. Dunianya hanya terpaku pada satu orang. Tak pernah ada orang lain yang berhasil menyeruak masuk, padahal aku kakaknya. Satu-satunya manusia yang masih bisa disebut keluarga. Tiba-tiba ia memandangku lekat. Aku heran, tak biasanya ia memperhatikan sesuatu selain boneka Sruti yang tangannya telah tanggal itu.
“Kau kenapa berdiri di sana? Bereskan benda busuk itu! Tangan itu, singkirkan!” bentaknya meringis jijik.
Aku menurutinya untuk memungut tangan boneka yang ia lempar barusan. Kembali, ia memainkan boneka minus tangan sebelah kanan. Tak lupa bertemankan fantasinya bersama Sruti.
Surat yang sudah tak jelas bentuknya itu habis kubaca dengan saksama sekali lagi. Lalu berulang kali. Angin sore masih tak bersahabat. Aku kembali ke gubuk dan kembali menunggu. Aroma hutan merengkuh penciuman. Aku ingin pergi, tapi takut disangka ingkar. Jadi aku menunggu seperti hari yang sudah-sudah. Setelah lewat senja, aku pulang. Waktuku terbuang banyak sekali untuk menunggu. Menunggu hal tak pasti.
Saat aku kembali ke rumah, aku melihatnya meringkuk dalam kamar. Bukannya aku memasung dirinya karena ia gila, tapi ia tak pernah ingin menapakkan kakinya untuk berjalan, bahkan untuk pergi ke dapur. Seperti biasa, aku yang mengurus segala keperluannya dan ia tak mau peduli. Akhir-akhir ini ia lebih senang berdiam diri, tanpa berbicara, tanpa melakukan kebiasaan anehnya; menjerit-jerit kesetanan menyerukan nama Sruti. Jujur saja, hal itu sedikit membuat bulu kudukku meremang. Setiap kali nama Sruti terucap, mau tak mau bayangan itu tepat berada di hadapanku. Menyeringai lebar penuh kemenangan. Berhasil memonopoli pikirannya secara utuh, tanpa ada sekat sisa pikiran jernih yang ia miliki untuk bersikap normal.
“Aku ingin menyusulmu, Sruti. Tunggu aku. Aku pasti datang untukmu,” ucapnya lirih. Lalu, ia tertawa dan mendongak ke arahku. Mata yang dulu selalu berbinar, kini mulai tampak kantung mata dengan arah pandangan yang tak terfokus. Aku mengacuhkan ucapannya karena terbiasa. Namun aku salah. Justru di sanalah letak akhir dari segalanya. Keeseokan pagi, ia masih tertidur lelap memeluk boneka Sruti yang buntung sebelah tangan. Sangat lelap. Membangunkannya pun aku tak mampu.
Tangisku tertahan. Pertahanan gengsi untuk tak menangis di depannya akhirnya runtuh juga. Di sisi tempat tidur miliknya yang rapuh itu, aku mematung menatap kisi-kisi jendela. Terlalu mengerikan memandang pergelangan tangannya yang berlumuran darah. Seperti hendak menirukan lengan boneka milik Sruti. Beginikah cara terbaik menyusul Sruti? Kini aku tak akan pernah bisa melihat sosok serupa Sruti, karena cerminan diri Sruti telah menyusul pula. Kedua adikku, Sruti dan Sruta.
Aku sebatang kara.
***
Sebulan berlalu. Sepi rasanya tanpa ditemani ocehan tak jelas Sruta. Aku memaksakan diri untuk tegar, dan menghidupi diriku sendiri dalam keterlunta-luntaan takdir. Pulang-pergi gubuk masih rutin dalam agenda, hanya sekedar menunggu.
Ketukan pintu membuatku tersadar dari lamunan panjang perjalanan pilu sang hidup. Dengan langkah gontai aku menghampiri pintu. Remaja putri kumal yang kukenal berdiri di sebelah sepasang suami istri paruh baya. Pakaiannya tak lagi lusuh, riasan wajah terpoles utuh.
Sruti?
“Maaf, Nak. Perjalanan kami kemari ternyata memakan waktu lama sekali. Alamatnya tidak jelas. Kami pernah kirim surat sekali agar ada yang menjemputnya. Apa sudah diterima?”
Aku mengangguk pelan. Kebingungan memuncak.
“Syukurlah, saya kira tidak sampai. Tapi kenapa Anda tak datang? Anak ini tak mau bicara apapun sejak kami temukan. Jadi kami merawatnya sementara waktu. Anda juga sulit kami hubungi,” suami istri tersebut bergantian menjelaskan.
Aku memeluk Sruti dengan eratnya. Namun ia melepas pelukanku, kemudian berkata dingin.
“Mana Sruta, Bisu? Apa ia sudah menyusulku ke alam baka? Aku sengaja pergi menghindarinya. Ia hanya membawa kehancuran saja dalam hidupku.”
Ucapan Sruti menumbuk hati hingga sesak, sementara kedua penglihatanku mencoba menjaga bola mata yang nyaris melompat keluar. Kedua adik kembarku semuanya gila!
Lalu limbung. Aku akan menyusulmu, Sruta.
Dari tanah lahar,