Sembari menyesap secangkir green tea latte, saya memperhatikan sekeliling. Beberapa saat lagi ini akan menjadi kenangan. Tick. Satu detik berlalu. Sekian banyak orang tidak dikenal sudah melewati posisi saya duduk saat ini. Tick. Detik kedua dimulai dengan seorang waitress yang mengguratkan senyum tipis kelelahan berlapis kelegaan karena pertanda sebentar lagi ia akan menggantung closed sign di depan pintu. Restaurant di sebelah mulai sepi, tetapi cafe tempat saya bermanja dengan waktu masih menunjukkan geliat aktivitas gaya hidup. Saya bukan pengikut arus, tapi memang, sesekali saya harus tetap hidup di tengah-tengah keramaian yang bisa saya perhatikan, meskipun di tempat itu saya duduk sendiri. Saya sangat suka memperhatikan keadaan sekeliling, tenggelam dalam pikiran. Rasanya seperti kehausan jika saya tidak berkomentar tentang hal-hal kecil di dekat saya, meskipun hanya dalam hati.
Ini sudah lewat empat puluh menit dari pukul sepuluh malam. Beberapa siluet pasangan campuran terlihat di balik remang lampu jalan, kembali menuju tempat melepas lelah (atau malah memulai aktivitas melelahkan?). Entah kenapa terlintas sebersit doa singkat; saya harap ketika mereka bertengkar, mereka akan ingat bahwa hari ini mereka pernah bercumbu mesra di tepi trotoar pantai Kuta :p
Ngomong-ngomong soal ingatan, hmm.. ingatan itu seperti dua sisi mata pisau. Ya, memang, segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti terdiri dari dua sisi. Duaaaa~ *bersenandung iklan*
Another tick comes. Satu detik berlalu menjadikannya memori dalam ingatan. Ibaratnya berkendara, yang nyetir itu saya, di sebelah saya itu ada kenyataan. Nah, memori akan selalu menjadi teman baik dengan waktu di kursi belakang. Sekali saya noleh kelamaan, brakkkkk! Kecelakaanlah saya. Tapi ketika si kenyataan meminta saya untuk melihatnya sekilas melalui spion dan saya menurutinya, saya akan hanya menoleh sebentar, bersikap nggak ambil pusing mereka mau ngapain dan sikap terakhir yang saya lakukan ya hanya tersenyum, karena masih banyak mobil di depan yang harus saya hindari untuk cepat sampai di tujuan dan rambu-rambu yang harus saya taati agar tetap selamat.
Tick, tick, tick have blown away into hours. Into days. Months. Years.
Berapa banyak memori yang sudah dibuat? (Saya bersyukur karena saya bukan pengidap amnesia —cukup hanya insomnia.) Seratus bahkan ratusan juta memori saya lalui selama hidup di dunia. Saya yakin, seperti halnya kalian yang sedang membaca tulisan saya, kalian pun punya kenyataan yang sama. Seperti halnya saya, kalian juga pasti memiliki memori baik dan buruk, mengenakkan hingga bahkan menyakitkan. Tapi yang namanya memori, kita bisa apa? Memori adalah hal yang sudah lewat, tidak bisa dikejar. Kehilangan orang yang disayang untuk selama-lamanya, atau kehilangan yang bahkan sementara (in case, ketika putus dalam sebuah hubungan dan kalian bisa ketemu lagi dalam situasi yang tidak disengaja) itu memang menyakitkan. Tetapi kalian bisa apa? Meminta kepada Tuhan untuk mengembalikan orang itu? Meminta untuk balikan lagi tanpa punya rasa malu? Atau diam-diam mendaftar sebagai siswa SMA untuk merasakan euphoria bangku sekolah padahal umurmu udah 25, misalnya? You definetly can’t do that, dude, apapun kondisinya. Kejadian setiap detik tidak akan pernah sama, dan jikapun sama, kondisi dan feel-nya pasti berbeda.
Try to deal with memories. Setiap orang memang harus dilahirkan dengan kapasitas otak sekian juta terrabyte untuk menampung ingatan dan tidak ada yang bisa menghindari itu.
Tidak ada yang salah dengan mengingat, mengulang kembali, mengenang apa yang ada dalam ingatan, karena memori tidak akan bisa berubah meskipun sudah digubah seimajiner mungkin menurut apa yang diinginkan. Jika itu menyedihkan, maka ingatlah bahwa segala sesuatu yang telah dilalui merupakan sebuah pelajaran untuk menerima. Jika harus menangis, menangislah sampai kalian tidak mendengar suaramu sendiri seolah ini terakhir kalinya merasa dikecewakan—kata bang Raditya Dika, jika harus marah dengan ingatan itu, marahlah dengan elegan tanpa harus merugikan, dan jika memang benar-benar merasa kehilangan, bersyukurlah bahwa orang-orang yang telah menjadi salah satu tokoh utama, figuran, ataupun cameo telah memberi pelajaran bahwa hidup seharusnya jalan terus, sampai kita juga benar-benar menghilang seperti mereka dan men-attach memori kepada orang lain. Jika sudah berhasil, kalian pasti akan merasa bahwa meski hidup kalian tidak baik-baik saja saat kalian mencoba untuk dealt with those memories, tetapi setelahnya, kalian akan bersyukur pernah melewati sebuah kenangan dengan cerita dan proses yang tidak mudah. Trust me, you will be grateful of those random memories you have passed. Entah itu baik atau buruk.
Because some memories won’t fade away. They are timeless treasure in your heart, so accept them, Cherish them.
…. and make the new one to other people around you.
Laptop mati. Saya rasa membicarakan perkara memori memang tidak ada habisnya. Tapi yah, perjalanan memburu WiFi saya harus berakhir sudah karena waktu merangkak menuju tengah malam. Sedikit sebal memang. Headset terpasang, saya bersiap pulang. Dua anak perempuan berumur belum belasan dan berpenampilan lusuh duduk di dekat parkiran, kakinya berayun, tampak sedang menunggu. Botol air mineral kosong tergenggam erat di tangan kiri salah satu anak perempuan, tertawa polos satu dengan lainnya. Mereka seperti membicarakan hal yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan kekejaman hidup yang mereka alami.
Hmm.. entah bagaimana caranya mereka akan bisa mengingat malam ini, di kemudian hari.