Tiga jam saya habiskan untuk searching buku di dunia maya, selepas kerja (Sabtu juga saya kerja, FYI. Hiks). Dimulai dari getol menelusuri situs khusus penjual buku original seperti Bukupedia, Bukukita, Grobmart, dan belasan situs sejenis lainnya, lalu saat buku yang saya cari tidak tersedia karena kehabisan stok dan beberapa memang tidak ditemukan, saya akhirnya menyatroni situs jual beli semacam OLX, Matahari Mall maupun Tokopedia.

Voila! Norwegian Wood tak lama lagi akan sampai dalam waktu beberapa hari.

Setelah checkout, saya iseng browsing lagi. Lima seri buku Supernova karangan Dewi (Dee) Lestari kini menjadi incaran —minus Akar, karena sudah dibeli terpisah, dan Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh memang sengaja ditambah ke dalam list untuk koleksi. Harganya cukup menggiurkan, kurang dari dua ratus ribu untuk enam buku. Padahal biasanya dua ratus ribu paling hanya dapat dua buku plus duit kembalian beberapa puluh ribu. Ini benar-benar menggugah selera baca. Curiousity talks; singkat cerita, karena kasus ini kemudian bertemulah saya dengan dua jenis buku yang mungkin sudah dikenal sejak lama oleh kaum pemburu; original dan bajakan.

Selama ini saya terbiasa belanja buku (asli) di Gramedia, Togamas atau jika dana lebih tersedia, aman lah semisal khilaf di Periplus. Hingga saat kesibukan makin menjadi, saya memutuskan untuk rutin langganan Bookmate setiap bulan. Pikir saya, lumayan, lima puluh ribu rupiah saja bisa baca ratusan buku yang nggak hanya berbahasa Indonesia. Yah, nggak bisa dipungkiri, aroma buku baru memang menggoda hati. Saya rindu dengan jejeran print out di toko buku. Apa daya, kuota waktu tak mampu.

Dilema kan?

Kembali lagi ke soal buku bajakan nan murah meriah, batin saya memecah menjadi angel dan devil:-

Devil: Udah sih, beli aja yang bajakan! Harganya aja setengah buku original, yang penting isinya sama. Toh baca buku juga cuma sekali.
Angel: Yang namanya bajakan, resiko buku rusak juga gede. Nggak bisa dibalikin lagi kalau halamannya hilang atau robek. Cukup nonton filmnya aja yang bajakan. Buku, jangan! *eh

Hmm.

Jujur, saya lebih pro ke sisi baik batin saya itu, saya lebih memilih membeli buku original biar harganya selangit, yang penting asli. Walaupun harus mengalokasikan gaji untuk buku. Alasannya banyak… kalau buku ori itu kertasnya rapi cantik dan wangi kertas khas buku baru, cover pasti menarik hati, cetakan timbul dan menarik, dan tidak mudah lepas. Dan yang paling penting, saya mengapresiasi si pengarang sebagai sesama penulis. Hahaha.

Ada option lain yang saya lakukan jika memang budget lagi kendur; beli buku bekas. Buku bekas yang original lho ya, bukan bajakan. Buku bekas semakin tua semakin berbau lapuk dan I really loooove it. Apalagi kalau yang punya suka mencantumkan tanggal belinya. Lebih baik bekas daripada nggak puas. Atau kalau memang malas beli karena dibaca sekali, lebih baik pergi ke Perpustakaan Daerah, rumah baca, atau tempat penyewaan.

FYI, untuk jaga-jaga, saya cantumkan saja cara membedakan buku original dan bajakan. Karena kemungkinan ini juga bisa terjadi meskipun membeli langsung di toko buku.

1. Cover buku cenderung pudar (blur) dan tidak tajam.
Pada buku bajakan, gambar pada cover biasanya tidak tajam, seperti hasil cetakan pada printer biasa. Sebelum membeli, coba perhatikan dulu cover buku tersebut. Hal ini tidak mungkin sama dengan buku keluaran percetakan.

2. Buku asli menggunakan cetakan timbul.
Selain tidak blur, tekstur cover pada buku original memiliki cetakan timbul dan ini mempermudah konsumen untuk mengenali bahwa ini buku asli. Ini kali ya yang bikin buku ori mahal? Heheheh.

3. Menggunakan kertas yang kualitasnya kurang.
Saya kira bagian ini agak susah, namun tanpa membuka pembungkus buku pun, buku non-original masih bisa dideteksi. Lihat saja dari bagian bawah buku yang memperlihatkan kertas cetak yang dipakai. Biasanya, warna kertas pada buku bajakan itu sangat berbeda dari kertas di buku original. Kertas yang dipakai pada buku non-original cenderung pudar dan kusam (mirip kertas daur ulang). Malah yang lebih parah, ada yang menggunakan kertas koran sebagai kertas cetaknya.

4. Berkurangnya ketebalan buku.
Karena kertas yang digunakan memiliki kualitas rendah dan tipis, otomatis mempengaruhi ketebalan buku.

5. Buku tidak dijilid dengan rapi.
Buku bajakan sebagian besar kurang memperhatikan bagian ini. Coba perhatikan apakah jilidan agak menganga atau masih terlihat sisa lemnya. Malah ada yang tidak simetris dan sisa potongan kertas masih nyangkut di sisi buku.

Jadi, kalau ditanya lagi mending buku original (mahal), buku original (murah+bekas), atau buku bajakan (murah) di saat duit lagi seret, saya pilih nomor 2! kampanye udah lewat
Somehow, buku bekas nggak selamanya jelek. Apalagi kalau buku bekas itu terbitan pertama malah jadi koleksi yang ‘wah’ banget. 

Baca juga: Membudayabacakan Masyarakat