Mendung belakangan hari tampak beda. Bukan mendung yang mengandung uap air sejuk dari bakal hujan, namun sedikit lembab karena hawa gerah tertutup semburan abu Hyang Tohlangkir, begitu kami menyebut Gunung Agung. Wih, kok horor? 

Sempat ramai menjadi pembicaraan sejak minggu kedua September lalu saat statusnya naik menjadi ‘Siaga’ atau Level III. Beliau yang tadinya alep sekali, tiba-tiba terbangun dari tidur panjang selama 54 tahun. Mau tanya bapak ibu tersayang, mereka bahkan belum jadi janin. Minta diceritakan oleh kakek malah sudah lupa-lupa ingat. Ta-da, sekarang lah saatnya saya menyaksikan sendiri momen bersejarah sekaligus menegangkan ini.

Meskipun saya tinggal di Denpasar, 22 September lalu menjadi puncak keresahan hebat yang menghampiri saya saat melihat mobil-mobil berseliweran di ByPass IB Mantra (arah Karangasem menuju Denpasar) penuh dengan muatan barang sak kasur-kasurnya. Mereka mengungsi! Status ‘Awas’ atau Level IV pertama kalinya disematkan ke Gunung Agung sejak meletus terakhir tahun 1963 akibat dari tremor berkelanjutan. Begitu peta Kawasan Rawan Bencana disebar ke publik, rumah saya yang notabene masuk KRB I (green zone) —kemungkinan jalur lahar dingin dan awan panas, memaksa bapak ibu berkemas dan mengungsi ke desa yang ‘konon’ aman dari letusan pertama. Adik-adik lalu saya pindahkan ke Denpasar dan bahkan pontang-panting ngurusin mereka agar bisa bersekolah sementara di wilayah Sesetan meski hanya dua minggu lamanya.

Kota Amlapura begitu sepi, dramatis, gelap, perekonomian lumpuh total. Bank malah sempat tutup. Koperasi kecil dan LPD nyaris kolaps. Hanya karena satu gunung dengan label ‘Awas’ yang bahkan tidak memunculkan sepercik asap pun malah membuat satu kabupaten sesak napas dalam satu jentikan jari. Rumor-rumor merebak, indra keenam mendadak diumbar. Prediksi wara wiri. Media bocor gembar gembor. Namun setelah diisukan akan meletus besar melebihi Merapi di tanggal 27 September, Gunung Agung malah tak lagi menunjukkan tanda-tanda pergerakan seismik, namun sebaliknya, memunculkan asap tipis (kami semua mengira itu awan, lho… ternyata itu adalah asap solfatara namanya, kata PVMBG) sekitar tiga atau empat hari setelah level Awas ditetapkan. Malah Sinabung lebih dulu erupsi. Di balik kekhawatiran kami semua selayaknya pengungsi yang jauh dari rumah, entah tambah was-was atau senang bisa pulang, status gunung kembali diturunkan menjadi ‘Siaga’ karena dianggap aman. Keluarga kembali ke rumah dan melakukan aktivitas seperti biasa —memonitor Gunung Agung, hari ke hari, dari gang rumah, curiously. Ha ha.

Kehidupan normal kami berlangsung hanya kira-kira satu setengah bulan, lalu memasuki fase dimana asap tipis yang tadinya adem ayem, lalu kemudian muncul erupsi kecil yang dinamakan erupsi freatik sebab hujan turun tak henti selama beberapa hari. Puncaknya terjadi pada 26 November lalu dimana hujan abu benar-benar bisa disaksikan dan dirasakan di desa saya. Malah sebelum erupsi terjadi, saya dan keluarga masih sempat jalan santai karena hari Minggu di Jalan Veteran Amlapura masih ada car free day! Jadilah masyarakat yang curious juga seperti kami, datang untuk melihat Gunung Agung lebih jelas, padahal sih nggak bisa lihat apapun karena tertutup asap tebal.

Matahari dari kejauhan bisa dilihat dengan mata telanjang karena tidak mengeluarkan sinar sedikitpun, suasananya mirip seperti gerhana matahari total. Saya dan adik malah sempat berdebat apakah itu bulan yang belum terbenam atau matahari. Doh.

Sementara di tempat berbeda, di desa kelahiran ayah ibu saya yang jaraknya 8 kilometer dari rumah tinggal, hujan abu sudah terjadi sejak pukul 6 pagi hingga pukul 9.30. Dalam kurun waktu tersebut, ketebalan abu mencapai 1 cm di beberapa tempat. Jalan raya licin. Syukurnya hingga waktu menunjukkan 10 pagi, rumah tinggal saya aman. Meskipun situasi agak mencekam, tapi tidak ada yang panik seperti halnya 22 September lalu. Status gunung malah masih ‘Siaga’ seperti suami yang siap mengantar sewaktu-waktu jika istri hamilnya pecah ketuban. Pacar saya yang rumahnya diselimuti abu tergelak saat bersih-bersih, katanya,”Lumayan dapat tiga ember”. Jeez!

Bandara Ngurah Rai ditutup selama tiga hari akibat abu yang merambah ke udara Bali Selatan. Wisatawan yang ingin kembali, risau. Takut kalau berlanjut hingga berminggu-minggu. Satu tamu kami yang terjebak di Singapura untuk urusan visa dan ingin kembali ke Bali memilih jalur udara Singapura – Jakarta – Surabaya, lalu jalur darat ke pelabuhan Ketapang, sampai akhirnya menyeberang ke Gilimanuk dan tiba di Denpasar dengan bus. Mendengarnya saja membuat saya depresi.

Kemudian erupsi berlalu digantikan dengan banjir lahar dingin. Gunung masih sesekali mengepulkan asap tipis. Kawasan Telaga Waja yang terkenal dengan wisata rafting, harus tutup buku untuk waktu yang tidak ditentukan. Tukad (sungai) Yeh Sah membawa aliran lahar dingin yang juga merusak sawah penduduk. Tidak cukup hanya di Karangasem saja, lahar dingin ini mungkin ingin coba lintas kabupaten lalu mengalirlah ke Tukad Unda di Kabupaten Klungkung. Salah satu kolega di kantor yang tinggal di kabupaten tersebut sempat mengeluh tak ada air beberapa hari karena pipa PDAM putus akibat terjangan lahar dingin di Tukad Unda ini.

Lalu begitulah. Beberapa minggu berlalu begitu saja tanpa embel-embel drama layaknya bulan September kemarin. Tidak ada puncak letusan yang digadang-gadang akan terjadi dalam 2×24 jam. Banyak spekulasi dan hoax (masih) bertebaran di lini masa, namun tidak satupun terbukti—semoga saja aktivitasnya terus menurun. Berita hoax terutama di beberapa media luar negeri yang mana foto letusan Sinabung digunakan sebagai featured artikel mereka sementara isinya berita Gunung Agung, terutama saat Gunung Agung belum mengeluarkan asap, sangat berdampak ke hampir semua wilayah Bali yang mengandalkan pariwisata sebagai lahan hidup, termasuk tempat saya bekerja. Beberapa tamu membatalkan kedatangan, beberapa memberikan informasi bahwa travel warning sudah dikeluarkan di negara mereka sejak bulan September. Gaji ngadat, karyawan kontrak di hotel dan restaurant ada yang dirumahkan sementara karena pemasukan minim. Entahlah, salahnya dimana.

Erupsi-erupsi kecil hingga awal tahun baru kemarin masih terus terjadi, pun juga hujan abu. Namun radiusnya tidak sampai 10 kilometer dan hanya sekejap saja. Status gunung Awas namun aktivitasnya menurun. Pemerintah terus menyuarakan Bali aman, safe for tourists. Akun resmi Instagram tiap kabupaten juga menyerukan hal yang sama, hingga ekonomi perlahan-lahan kembali bangkit dan membaik hingga kini.

Entah apa yang terjadi selanjutnya dalam beberapa bulan. Tak ada yang tahu bahkan BNPB dan PVMBG sekalipun. Gunung Agung bak perempuan yang sedang tak stabil hormonnya, meredam dan meledak dalam waktu yang sama, kapanpun dia merasa perlu.

Anyway, live streaming untuk kondisi Gunung Agung terbaru bisa dilihat disini. Biar nggak melulu menyebar berita tidak perlu.