Saya ingat, dua minggu lalu masih begitu riweh-nya mencoba fokus untuk membuat tujuan. Well, I made the decision; getting a new job will be the most suitable thing to aim this year.
And voila, saya sekarang punya pekerjaan. LOL. Such a nice thing to share, isn’t it? Let’s say… this is kinda… a ‘proper’ job for me and really suits me well.
Lucunya, ini terjadi saat saya sudah benar-benar pasrah dengan usaha maksimal yang saya lakukan. Keinginan saya untuk mendapatkan pekerjaan memang menggebu-gebu, tetapi saya ikhlas kalaupun memang belum ada panggilan kerja. Karena memang, saya tidak menargetkan untuk segera bekerja. Saya tetap menyisir lowongan yang tentunya sesuai dengan minat, kompetensi serta pengalaman saya, dan jarak ke tempat kerja. Slow, but sure… Jadi lebih fokus saat ada panggilan interview nantinya.
Dan entah bagaimana, ilmu mengikhlaskan keinginan ini, betul-betul membuat saya sadar bahwa rencana manusia tidak akan pernah bisa terlaksana jika bukan sesuai kehendak-Nya.
Kenapa mesti mengikhlaskan keinginan? Bukankah terasa puas jika bisa digapai?
Belajar banyak dari pengalaman hidup diri sendiri—dan tentu saja ini nggak selalu relatable dengan orang lain, bagi saya, keikhlasan adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dijalani. But when it comes to the result, it will be the best of the best; fruitful with positive outcomes which will create your own true happiness. Menjadi seseorang yang senantiasa ikhlas adalah perkara sulit. Tapi bukan tidak mungkin seseorang gagal melakukannya. I learnt it also from my mom.
Semakin berusaha mengikhlaskan, hidup akan merasa tenang dan nyaman.
Kehilangan, kekecewaan, kegagalan, sulitnya menerima kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi sangat wajar adanya. Susah ikhlasnya kan? Begitu membahas soal keinginan, pengennya selalu terpenuhi. Kapan sih manusia pernah merasa puas? Saya salah satunya. Kan saya manusia, ehe.
Ngomongin soal keinginan, saya selalu berprinsip seperti pasir. Digenggam semakin erat, pasirnya semakin banyak yang jatuh. Tangan itu layaknya kadar ikhlas seseorang, dan pasir seperti keinginan. Semakin dikekang, lebih berusaha untuk ingin lepas. Semakin menggebu-gebu untuk mendapatkan sesuatu, jika memang bukan milik saya, ya sudah… saya melepaskan dengan penuh kepasrahan untuk kekuatan yang lebih tinggi. Dibarengi dengan usaha semaksimal mungkin. Berdoa pun masih terhitung usaha, jika memang benar-benar tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan.
Tidak perlu memaksa mempertahankan sesuatu, tidak usah menggebu-gebu menginginkan hal yang tak perlu.
Tidak ada yang benar-benar siapa punya apa di dunia ini.
Ternyata saya bukanlah orang yang berambisi. Terdengar begitu negatif mungkin, bagi sebagian orang. Saya tidak pernah mematok sebuah ambisi karena saya berpikir, segigih apa sih usaha mewujudkan keinginan sampai-sampai kadang lupa bahwa ada hal-hal yang mesti dikorbankan? Lalu jika sudah tercapai, Mungkin ini juga yang menyebabkan saya mudah terdistraksi dan terhitung manusia ‘nggak punya tujuan’.
Sah-sah aja berambisi, namun saat berpikir keinginan tersebut, belum tentu keinginan yang dimiliki adalah yang terbaik. Jadi, sabar saja. Santuy~
Mungkin belum waktunya… atau keadaan memang tidak memungkinkan…
The lower the expectation, the better.
Menurunkan atau bahkan menghilangkan ekspektasi, menyerahkan sepenuhnya serta percaya pada kekuatan tertinggi adalah cara untuk berada dalam kondisi penerimaan yang utuh. Kombinasi mengikhlaskan dan rasa syukur katanya dapat menarik apapun yang dikehendaki.
Jika memang belum waktunya, maka keinginan tidak mungkin akan bisa terlaksana. Kalaupun memang bisa terlaksana dan gagal atau tidak seratus persen terpenuhi, bisa jadi keadaan memang belum memungkinkan.
You know,
God will grant your need, not what you want.