Segera menyapu begitu bangun pagi dengan kondisi mata masih setengah watt sangat-sangat tidak direkomendasikan, terlebih saat nyawa belum sepenuhnya terkumpul. Demi mengejar waktu agar pekerjaan rumah selesai sebelum berangkat kerja, bukannya untung selesai lebih cepat, malah jadi buntung karena morning rush hours saya diselipi insiden tertusuk paku berkarat.
Don’t ask me why that da*n rusty brass tack nail was having a good time on the floor and kissed my lovely left heel. Saya cuma bersyukur yang nginjak bukan Wigar—karena ini lingkupnya masih di ruang kerja dan dia sering main disana.
Phew.
Panik? Enggak sih. Rada kagok aja menetapkan pertolongan pertama mesti gimana karena nggak pernah ngalamin sebelumnya (siapa juga sih yang mau ketusuk paku?!😅). Pertolongan pertama yang saya bisa adalah… langsung buka hape untuk nyari cara pertolongan pertama pada luka tertusuk paku berkarat. Pffft.
Jadi, step pertama untuk penanganan luka model begini adalah cuci luka dengan air mengalir selama beberapa menit, lalu cuci pakai sabun—thanks to Google. Karena jenisnya bukan luka terbuka, saya memencet areal luka agar darahnya mengalir. Logikanya, darah yang keluar akan membantu membawa kotoran keluar. I… wasn’t quite sure though…
Okay, setelah kering, saya tempelkan kapas alkohol untuk mensterilkan luka, lalu dibaluri obat merah. Begitu obat merah kering, saya tutup dengan plester luka. Selesai.
Tetapi ceritanya belum selesai sampai disitu. Kekhawatiran saya belum sepenuhnya selesai.
Keesokan harinya, Selasa tanggal 26 Januari lalu, aktivitas seperti biasa masih saya lakukan; selain cara berjalan yang terseok-seok. Kaki kiri berasa pakai stiletto sebelah selama dua hari. Menjelang sore, barulah kekhawatiran saya semakin menjadi karena nyerinya tak kunjung reda dan bengkak sedikit menyebar di area tumit, bukan hanya di bagian yang tertusuk paku berkarat. Mendadak merinding membayangkan jika saya nantinya kena Tetanus. Hiiii.
Bingung antara ingin-dan-parno untuk pergi ke rumah sakit atau klinik di situasi pandemi seperti sekarang ini, saya akhirnya bertanya ke beberapa sahabat apakah tindakan untuk vaksin diperlukan atau tidak jika protap pertolongan pertama (menurut Google) telah dilakukan. Yep, mereka memang menyarankan untuk segera ke klinik atau rumah sakit agar luka bisa ‘dibersihkan ulang’ dan mendapatkan vaksin.
Berhubung libur saya hari itu belum habis dan hari masih sore, saya langsung pergi ke klinik dekat rumah setelah bolak balik telepon klinik dan apotek. Klinik ini tidak menyediakan vaksin secara langsung tetapi saya harus beli di apotek secara terpisah. Kalau ke rumah sakit, mungkin tersedia all-in.
Sebelum jam setengah lima sore, saya langsung meluncur ke Apotek Qitta (wilayah Sesetan, Denpasar Selatan) untuk beli vaksin tetanus dengan merk Tetagam. Harganya lumayan eim, 237.500 rupiah. Setelah itu, saya lalu menuju Klinik Karya Prima dan berobat dengan status pasien umum. Kenapa bukan BPJS? Karena Faskes pertama saya belum sempat ganti. Haaah.
Menurut informasi, kalaupun saya menggunakan BPJS, tetap tidak bisa ditangani karena luka saya bukan tergolong emergency. Beda halnya kalau beberapa saat setelah tertusuk paku, lalu langsung ke Faskes Pratama. Masih bisa di cover BPJS. Beneran gitu nggak sih? Hm.. anyway, apapun itu, selama saya mendapat penanganan, nggak masalah mau umum atau BPJS. Lagipula situasi di klinik saat itu sepi banget, nggak perlu antre dan nggak risau juga karena mereka menerapkan protokol kesehatan COVID-19 secara ketat. Beruntungnya saya!
Oke, begitu daftar dan lalalele, saya segera mendapat tindakan. Pertama vaksin, lalu pindah ke penanganan luka. Dimulai dengan anestesi lokal di area tumit (saya benci banget di bius ya Tuhan…), lalu dilakukan insisi (penyayatan) di bagian yang tertusuk dan dibersihkan dengan cairan sejenis betadin dan entah apa. Ditutup dengan kasa dan perban, jadi deh! (udah berasa nonton acara masak-masak aja)
Saya juga mendapat dua jenis obat; antibiotik dan ibuprofen. Hingga saat ini, lukanya sudah kering meski kalau kaki dipakai jalan masih sakit untuk menumpu berat badan.
Nggak nyangka pulang ke rumah bisa serempong itu karena pergi ke klinik mengendarai motor sendirian. Buat perusahaan Vespa yang dulu pertama kali mengeluarkan skuter matic dan diikuti oleh brand sepeda motor lain, (yah… meskipun merk Vespa ini nggak kebeli) saya bisa pulang naik motor tanpa harus kaki kiri saya menginjak rem dan oper gigi. Ikan hiu makan tomat! ❤
Hal rempong lain, mandi bak balerina harus dijalani dua kali sehari karena luka nggak boleh kena air. Terpaksa ngelap kaki pakai tisu basah. 😓
Oh ya, menurut sumber yang saya baca disini, vaksinasi TT (Tetanus) dipertimbangkan juga dari status imunisasinya jika pernah dapat vaksinasi tetanus dalam 5 tahun kebelakang tidak perlu diberi lagi, namun jika belum pernah atau lupa maka dapat diberi TT. Dalam hal ini, vaksin terakhir saya adalah waktu SD, jadi kudu di vaksin lagi.
Jadi, sebisa mungkin, jangan sampai tertusuk paku berkarat! Stay safe semua! 😊