Dunia tulis menulis telah memasyarakat di berbagai kalangan, tanpa terkecuali. Setiap orang, termasuk saya, tumbuh dan berkembang dari secarik pulpen dan kertas (kalau nggak ada pulpen dan kertas —catatan Posyandu, perkembangan dan pertumbuhan saya nggak akan ada catatannya, ya nggak sih? :D) Kegiatan menulis sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari, bahkan bisa dibilang mulai dari hal kecil, misalnya seperti menulis to do list, menulis pesan singkat via messenger, jurnal harian pribadi, artikel untuk tugas sekolah, cerpen, puisi, karya tulis sampai tulis menulis level tinggi (baca: skripsi, thesis atau jurnal ilmiah), semua membutuhkan keterampilan untuk menyusun kalimat demi kalimat agar menjadi sebuah karya yang bermakna dan bermanfaat bagi para pembaca. Meskipun pembacanya adalah hanya dirimu sendiri.

Salah satu kegiatan rutin yang semakin mengasah bakat menulis saya di masa sekolah menengah adalah adanya kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik. Saat itu, ekskul jurnalistik yang bertugas meramaikan papan pengumuman dekat kantin sekolah dengan majalah dinding berwarna warni, bisa dibilang ekskul paling ketjeh di masanya, sebelum Google menjadi sarapan pagi seperti sekarang. Bagaimana tidak, setiap kali mading biweekly muncul, sebagaian besar kaum adam akan berbondong-bondong menulis beberapa bait ‘kode’ lengkap dengan inisial misterius di pojok kanan bawah pada rubrik puisi agar sang pujaan hati yang ia tahu kerap membaca mading, akan melirik barang sejenak. Atau perempuan-perempuan mistis *halah* yang gemar membaca zodiak dan mencoba kecocokan zodiaknya dengan pasangan untuk dua minggu ke depan. Menarik, artistik, dan kalau diingat-ingat… kebiasaan yang seru ini cukup… absurd.

Oke, kembali ke topik.

Ekstrakurikuler jurnalistik, saya akui, merupakan sebuah kegiatan wajib masa sekolah menengah sebagai wadah untuk mengembangkan kreativitas menulis di kalangan pelajar *diperuntukkan bagi siapa saja*. Menulis itu ilmu yang paling berguna sejagat raya, percayalah! Kemajuan teknologi saat ini tentu membuat ekskul ini juga semakin berkembang. Tidak hanya mading, blog di website sekolah juga sudah dikuasai ekskul ini untuk memberikan artikel-artikel bermanfaat, liputan khusus bermutu untuk ajang promosi,  hingga esai ilmiah dengan beragam topik untuk membantu pembelajaran.

Selain itu, pembuatan majalah juga menjadi prioritas penting bagi kru jurnalistik untuk penggalangan dana sekaligus media promosi. Bertahun-tahun lalu ketika saya masih SMA (malu deh, sudah uzur :p), saya dan team yang tergabung dalam ekstrakurikuler jurnalistik rutin menerbitkan majalah sekolah bernama SABDA (Saka Budaya Kita) setiap setahun sekali. Benar-benar selalu ditunggu dan mendapat apresiasi yang luar biasa, bahkan hingga saat ini! Tidak hanya didistribusikan dalam bentuk cetak, tetapi juga online, salah satunya bisa dilihat disini.

Untuk menyusun majalah sekolah ini, diperlukan waktu beberapa bulan untuk menyelesaikannya, mulai dari rapat redaksi, pengumpulan materi, adventorial, hingga percetakan. Dalam kegiatan rapat redaksi, susunan pengurus majalah sekolah dibentuk, dilanjutkan dengan perencanaan pendanaan dan pembagian tugas. Lalu dilanjutkan dengan pengumpulan materi sesuai urutan dalam rubrik-rubrik yang telah direncanakan sebelumnya. Pada tahap adventorial, para anggota melakukan pengajuan proposal ke berbagai sponsor yang bersedia memasang iklan pada majalah sekolah ini.

Dalam menggiatkan pendidikan jurnalistik lewat eskul di sekolah saya ini —sebut saja SMAN 2 Amlapura eheheh, sekolah mendukung penuh dengan menyediakan guru pembimbing khusus penggiat sastra (dan beliau sudah mendapatkan banyak penghargaan by the way). Ekskul ini diadakan sekali seminggu dan intens saat persiapan acara-acara besar seperti temu sastra dengan penulis ternama, bulan bahasa, dan lain-lain.

Meskipun hanya ada beberapa sekolah baik tingkat sekolah menengah maupun universitas yang menerapkan kegiatan serupa, namun saya sangat mengapresiasi betul sekolah-sekolah yang bisa mengembangkan ekskul jurnalistik terus eksis tidak hanya dengan membuat majalah dinding, namun juga menerbitkan koran ataupun majalah sekolah secara berkala, dikelola secara professional, hingga memiliki pelatihan bagi tenaga keredaksian dan melibatkan pihak luar sekolah dalam hal pembiayaan dengan cara pemasangan iklan disetiap penerbitan, serta memiliki ruang redaksi khusus untuk majalah sekolah.

Kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik berperan besar untuk perkembangan kreativitas siswa. Bakat menulis mereka akan tergali sendiri (jika memang berkeinginan untuk memulai) dan semakin terasah (bagi yang memang ingin mengembangkan bakatnya). Tidak hanya mereka yang mau dan suka menulis, tetapi kegiatan jurnalistik dasar ini penting sekali lho, bagaimana kita merumuskan masalah, kemudian mengolah, hingga menuang dalam bentuk pemikiran tertulis juga pada akhirnya, kelak dapat menghasilkan calon-calon penulis, wartawan, bahkan ilmuwan handal.

Kemampuan seseorang di dunia tulis menulis tidak akan berjalan baik jika orang tersebut memiliki potensi, namun tidak pernah dilatih. Sebagai contoh penulis atau wartawan terkenal saat ini, kebanyakan lahir dari pers sekolah atau kampus. Kegiatan tulis mereka telah tertanam sejak mereka bersekolah atau kuliah. Selain menulis untuk kepentingan majalah untuk sekolah atau kampus, mereka memberanikan diri mengirimkan tulisannya untuk mahalah atau surat kabar umum dalam bentuk cerpen, puisi, maupun artikel. Semua ini merupakan ajang untuk mengasah kemampuan diri sendiri. Memang pada awalnya mereka merasa tulisan yang mereka buat dirasa tidak bagus oleh diri sendiri. Namun siapa tahu nanti bisa dimuat di surat kabar. Tentunya rasa bangga akan menyelimuti diri sendiri ketika khalayak ramai membaca karya tersebut. Disamping itu, ada imbalan bagi karya-karya yang telah dimuat. Karya-karya yang bermunculan tentunya akan membawa nama baik sekolah juga, bukan?

Bagi mereka yang sudah terpikat akan dunia ini, menulis seperti kebutuhan harian. Catatan kecil dan bolpoin, senantiasa menjadi teman dalam perjalanan.

Thank you for reading, fellas!
Lots of love,