“When you are choosing what to keep, ask your heart; when you are choosing where to store something, ask your house.” — Marie Kondo
Salah satu benda yang cukup memakan banyak space dan sering banget dibeli adalah buku. Satu rak besar yang hampir memenuhi setengah ruang keluarga berisikan buku milik saya, anak, dan suami, serta setumpuk buku baru yang belum terbaca.
Beberapa diantaranya, termasuk novel-novel teenlit dan bacaan ringan, sudah saya hibahkan ke teman-teman kantor. Bukan karena genre bacaan yang sudah tidak sesuai lagi, bukaaan. Tetapi ya… karena memang sudah nggak muat aja di rak buku ini. Bahkan setelah didonasikan pun, raknya tetiba penuh gitu aja lagi masa.
Long story short, tahun lalu, tepatnya di bulan Oktober 2022. Ketika kebetulan ada budget dan sudah masuk wishlist, membeli e-reader menjadi solusi jangka panjang dari permasalahan buku-buku bertumpuk ini.
Awalnya agak bingung karena belum kenal betul model-model e-reader yang ada di pasaran, ya kaan. Setahu saya, ada beberapa merk e-reader yang beredar di market; misalnya Kobo, Nook termasuk diantaranya Kindle. Masing-masing merk memiliki berbagai seri/tipe.
Belum lagi pilihan antara Kindle dan tablet yang sempat membuat goyah karena.. obviously, tablet bisa difungsikan untuk hal lain juga dan ngerasa sayang duitnya aja. Cuma balik lagi nih, kalau untuk fokus membaca, tentu pilihan harus jatuh pada e-reader. Begitu prinsip saya.
… maka terbeli-lah Kindle Paperwhite Gen 11 dengan kapasitas 8GB.
Jadi, Kindle tuh produk keluaran Amazon, known as the largest online marketplace dari Amerika Serikat. Ini kayak semacam perpustakaan digital yang bisa kamu bawa ke mana-mana. Bedanya sama buku biasa, Kindle ini layarnya mirip kertas beneran. Jadi, meskipun baca lama-lama, mata nggak cepet capek.
Kenapa saya pilih Kindle?
Dengan layar 6.8 inci dan berat kurang lebih 200 gram, menurut saya, rasanya lebih gampang (dan ringan) membaca lewat Kindle daripada buku fisik. Ga perlu susah-susah membalik halaman, tinggal tap layar aja. Dengan kapasitas 8 GB yang dimiliki, klaim-nya sih bisa menyimpan sekitar 3000 buku. Baterainya juga tahan lama banget. Selama saya menggunakan kurang lebih dua jam setiap hari, saya hanya perlu mencharge device ini selama seminggu sekali. Kalau dalam posisi idle dan tidak tersentuh, sebulan ga di charge juga masih aman! 😀
Kindle Paperwhite generasi ke-11 ini menurut saya memiliki nilai plus dibanding tablet atau ponsel karena intensitas cahaya di Kindle lebih ‘ramah-di-mata’. Jadi membaca di tempat gelap atau terang, nggak bikin silau mata. Mungkin karena peruntukannya memang untuk membaca, wajib banget memanjakan para blibliophile agar esensi membaca sama seperti memegang buku paperback.
Membaca buku lewat Kindle juga minim distraksi. Tidak ada aplikasi lain yang bisa diinstal di Kindle kecuali ya si Amazon store ini. Jika dibandingkan dengan buku fisik, tentu harga e-book jauh lebih murah, ya ges yaa. Banyak tuh buku-buku diskon di Amazon harganya malah jauh lebih murah ketimbang Google Play.
The things I dislike…
Selain harganya cukup mahal— sekitar 2,4 jutaan untuk Kindle (with ads) di toko ijo, warna yang ditampilkan hanya hitam putih. Meskipun sudah baca-baca review juga sih sebelumnya dan mempersiapkan hati juga kalau cuma bisa baca teks dengan tampilan dua warna ini aja, saya masih agak kecewa kalau menemukan buku yang berisi ilustrasi namun gambarnya hanya hitam putih. Ya gimana ya… 😀
Belum lagi kalau ternyata gesture Kindle tidak se-responsif gadget pada umumnya. Terutama ada delay sepersekian detik setiap membuka Amazon store, membalik halaman buku, dan aktivitas lain. Tapi ya, kembali lagi kalau Kindle memang peruntukannya hanya untuk membaca, jadi bisa saya maklumi.
Hal menyebalkan lain adalah saya nggak bisa dengan gampang meng-convert buku dari platform lain (misal, Google Play Books). Hal ini karena Kindle memiliki format tersendiri agar buku tersebut bisa dibaca. Eh tapi, pengguna Macbook jangan khawatir, kalian bisa memanfaatkan pilihan “Send to Kindle” setelah sebelumnya menghubungkan akun Amazon untuk mengirim file dari laptop langsung ke Kindle device.
Berbeda dengan Google Play yang buku elektronik berbahasa Indonesia-nya gampang didapatkan (meskipun engga selalu up to date), di Kindle, e-book berbahasa Indonesia hampir tidak ada, karena memang peruntukannya bagi pengguna global Amazon. Agak susah bagi saya karena mesti pindah ke akun Google Play jika ingin membeli novel berbahasa Indonesia. Tetapi karena memang tujuan saya agar bisa membaca buku-buku non-fiksi original berbahasa Inggris, sekali lagi, mau gimana. Hehehe.
So far penggunaan Kindle selama setahun ke belakang nggak ada masalah, malahan sungguh menghemat tempat betul, mengingat ada ratusan buku yang ada di Kindle saya sekarang. Kindle juga gampang dibawa kemana-mana, sungguh penyelamat handal di kala bosan.
I feel like… this is the best investment ever!
Mas Maulana
Wah baru tahu saya kak, terima kasih infonya kak
Galuh Ginanti
Sama-sama kak 🙂
Eri K
Saya sempat bingung sebenarnya mau beli kindle/buku langsung karena takut kalau beli kindle kurang worth itu tapi setelah baca ini saya pikir akan membelinya!!! Terlihat begitu praktis.