Menjadi orang tua sejatinya akan selalu berpredikat newbie. Tidak akan pernah cukup rasanya hanya dengan membekali diri dengan ilmu parenting sebelum bertemu realita dalam merawat dan membesarkan anak.

Wigar memasuki umur enam bulan kala itu. Sebagai ibu baru, saya sangat excited menambah deretan daftar MPASI ke dalam daftar catatan. Mengenalkan berbagai rasa. Membeli berbagai jenis bahan makanan untuk mengetahui sensitivitasnya terhadap alergen tertentu. Pisang, alpukat, pepaya, beragam jenis sayuran hijau, beraneka rupa protein nabati dan hewani, hingga mengikuti pola menu dengan lemak tambahan juga sempat disajikan. Namun, sayangnya, Wigar mulai mogok makan dan meraung histeris setiap disodori bubur di bulan kedelapan setelah dua gigi baru muncul bersamaan. Melahap jus pun enggan.

Apakah MPASI naik tekstur akhirnya diberikan? Tentu saja tidak. Saking seringnya membuang sisa bubur karena tidak habis dimakan, bubur instan adalah jalan.

Saya tahu memaksa anak untuk makan pun ada aturannya. Anak susah makan memang bikin geregetan, namun melihatnya terlalu sering menangis setelah menjejalkan makanan lebih berbahaya. Harus siap stok kesabaran yang melimpah. Entah ini kasihan atau sudah pasrah, saya dan si Bapak memutuskan untuk membiarkan Wigar untuk tidak mengkonsumsi apapun selain ASI dan susu formula. Hanya sesekali menyodorkan nasi lembek atau jus buah saat ia mau—ini dimulai sejak Wigar memasuki umur satu tahun.

Kami mencoba jadi orang tua solutif namun ternyata dua hal di atas bukan solusi yang baik.

Wigar terlanjur tidak suka makanan padat hingga berumur dua puluh satu bulan dan kami tetap biasa saja. Ia jarang sakit, ceria dan aktif, serta minum susu dan tidur pun teratur. Kami masih mencoba membiasakan diri saat ia belum juga bisa melafalkan kata-kata sederhana untuk anak seusianya. Rasa khawatir akan speech delay mulai menanjak, sebab di umur tersebut, menyebutkan mama, papa atau meniru pengucapan huruf vokal belum pernah terdengar. Kadang babbling semaunya. Apakah ia hanya malas atau kami tidak memberi stimulasi cukup dengan men-skip pemberian makanan yang tidak sesuai tahapan?

Lalu kami berprinsip bahwa keterlambatan bicara yang dialami masih dapat ditoleransi, sebab ia:

  1. Tidak ada gangguan dengar,
  2. Mengerti perintah sederhana, seperti saat saya minta tolong buang popok di tong sampah atau ambilkan barang ini dan itu,
  3. Mengerti cara meminta; minta susu ke dapur, minta pipis di toilet, mau bobo, minta ASI,
  4. Bisa menunjukkan bagian tubuhnya dengan baik saat saya menyebutkan satu per satu,
  5. Mengerti kata boleh dan tidak.

Semua itu ia respon dengan ‘uuh’ atau ‘aah’ saja. Tidak lebih. Oh ya, hanya saat bermain ciluk-ba, Wigar fasih menyebut ‘ba’ saja.

Awalnya saya tidak menduga jika membiarkan Wigar ‘mogok’ makan berkepanjangan akan memiliki andil dalam keterlambatan berbicaranya. Hasil browsing menyebutkan, banyak faktor lain yang menjadi penyebab speech delay. Namun kembali lagi, orang tua memang akan selalu menjadi newbie jika berhadapan dengan dunia parenting. Belakangan saya baru paham bahwa pemberian makanan kepada anak memang sebaiknya tepat tekstur dan tepat umur.

Tiga bulan sebelum menyentuh umur dua tahun—Wigar baru saja berulang tahun 18 Desember lalu, dengan tekad kuat, mulailah saya kenalkan pada bubur dengan tekstur anak sembilan bulan (hingga saya menulis ini, tekstur makanan masih sama). Seperti dugaan saya, di awal ia menunjukkan reaksi yang sangat anti makanan. Melihat sendok aja ogah. Belum lagi ritual makan mesti bervariasi. Saya memberi porsi makan bertahap dan waktu makan rutin sehingga menjadi kebiasaan; satu sendok makan setiap pagi dan sore, lalu ada peningkatan menjadi satu sendok sayur setiap kali makan, hingga kini bisa habis dua sendok sayur sekali makan. Bulan depan akan mulai diberikan makanan keluarga. Wish me luck!

Bagaimana dengan kemampuan bicaranya? Yak, ada peningkatan! Ia kini bisa menyebutkan dan meniru pengucapan huruf vokal, menyebut kata singkat yang diulang seperti mamamama, wawawawa, lalalala… mengucapkan beberapa abjad acak yang (mungkin) terasa mudah baginya. Whatever it is, I’m so happy!

Lalu apa pengaruhnya memberikan makanan untuk meningkatkan kemampuan berbicara anak?

Begitu anak belajar makan makanan padat, organ mulut akan dirangsang untuk mengunyah agar pembentukan rahang dan gigi jadi lebih optimal. Hal ini akan membuat anak mampu melafalkan kata-kata dengan baik sebab melalui kegiatan mengunyah, kemampuan otot oral dilatih sedemikian rupa seperti menggerakkan lidah, mengontrol air liur, serta ada kontrol udara dalam rongga mulut.

Anak susah makan memang tidak boleh dipaksa. Bukan pula harus dibiarkan begitu saja. Jika memang faktor pemberian makanan memiliki imbas terhadap kemampuan berbicara sang anak, hendaknya selalu mencoba paling tidak satu atau dua suap saja. Anak kecil itu random sekali, Bu. Meskipun seorang Ibu seperti saya selalu merasa kurang ilmu dalam mengasuh anak, ada insting yang bisa menangkap dan membaca situasi perihal bagaimana keputusan terbaik diambil.

Semua anak itu spesial. Mereka memiliki masa tersendiri untuk mencapai stage tertentu. Anak susah makan akan makan jika memang inginnya, anak speech delay akan bisa berkomunikasi jika sudah waktunya. Orang tua newbie bisa naik level hanya jika memiliki kesabaran super. 😊