Senin seharusnya menjadi hari paling modar di jagat per-karyawan-an. Ditambah mendung, lengkap sudah penderitaan pemeluk guling. Syukurnya tidak ditambah hujan gerimis mengundang, tentu akan lebih meningkatkan kadar kemalasan setiap pekerja akan bangun subuh dan berpisah dari selimut kesayangan untuk siap-siap berangkat lebih awal.Tetapi Senin ini berbeda bagi saya saudara-saudara! Senin pertama terbang ke luar negeri dengan noraknya! Kekekek.

Setelah penantian dua tahun sejak paspor saya dibuat (dengan penuh drama) di tahun 2015, hari ini saya bisa berbangga hati akhirnya terbang ke negara tetangga, meskipun hanya sebentar (literally for less than 48 hours!) untuk urusan kerjaan *Ciye holang sibuq!*. Terima kasih saya ucapkan kepada bapak pengemudi taksi online yang sudah sigap meliuk-liuk di jalanan Senin pagi Denpasar yang begitu meriah hingga saya bisa tiba di Ngurah Rai International Airport dan bersiap untuk penerbangan ke Singapura sekitar satu setengah jam kemudian. Udara masih segar-segar kemayu, bandara belum terlalu ramai, antrian pun tidak banyak saat security screening. A tip for the first timer: jika berencana untuk membawa laptop, mohon jangan diletakkan di dalam koper atau nantinya kamu akan jadi gunjingan orang-orang di belakangmu yang menghambat antrian! Bodohnya, saya nggak tahu tentang hal ini, seriously, jadi dengan alasan efisiensi tempat, saya masukkan tas laptop di dalam koper. Alhasil, butuh waktu untuk membuka numeric code di koper, belum lagi rempong dengan buka-bukaan jam tangan dan isi hand bag. Euh.

Selain itu, jangan pernah lupakan paspor, boarding pass dan visa (karena ini cuma ke Singapura jadi visa nggak diperlukan). Selalu letakkan di tas kecil yang gampang dibawa kemana-mana. Ada baiknya baca dulu panduan untuk penerbangan internasional sebelum terbang.

Yak, lancar. Satu fase terlewati, saya kemudian berjalan menuju arah gate setelah melewati Duty Free Shop yang menjual oleh-oleh khas Bali hingga barang-barang branded dengan harga aduhai mahalnya. Waktu masih tersisa empat puluh menit ketika saya tahu penerbangan ternyata delay karena cuaca. Secangkir cappucino menjadi pilihan sembari menunggu jam lepas landas.

Mampir di Hard Rock Cafe dulu buat ngopi. Karena masih pagi, cafe terpantau sepi.

Pengeras suara maskapai memanggil semua penumpang untuk masuk ke pesawat. Penerbangan dua jam lima belas menit ini berhasil membuat saya deg-degan! Oh, mungkin ini terdengar al4y karena Singapura bukanlah negara jauh. Tetapi… deg-degan saya bermula saat saya mulai sakit kuping selama hampir lima belas menit lamanya setelah take off dan menjelang landing!

Sebelum tiba di Singapura, awak kabin akan memberikan satu embarkation card yang harus diisi dan diserahkan saat tiba di Changi nanti. Isinya tentang identitas diri sendiri dan dimana saya akan tinggal selama di Singapura.

Embarkation card yang harus dilengkapi sebelum tiba di Singapura. Jika tidak mendapatkan form ini di dalam pesawat, bisa diisi saat sudah tiba di bandara. 

Hari Senin saya terbayarkan dengan pemandangan turqoise maha luas dari ketinggian beberapa belas ribu meter di atas permukaan laut 

Singapore, here I come!

Penerbangan saya dari Indonesia berakhir di Terminal 4 Changi International Airport. Kesan pertama tentang bandara ini: KEREN BANGET! Dari 1 sampai 10, saya akan rate 9,6 untuk staff profesionalism, airport design and green environment! Kekurangannya terletak di kegregetan petugas imigrasi saat kedatangan. Orangnya nggak seramah di Indonesia, sayang seribu sayang.

Namun, sekali lagi, a tip for the first timer: jika berencana untuk membawa laptop, mohon jangan diletakkan kembali di dalam koper setelah beranjak dari bandara asal atau nantinya kamu akan jadi gunjingan orang-orang di belakangmu yang menghambat antrian karena koper tetiba rusak, misalnya. Entah dewa mana yang memberi saya kesialan pertama untuk hari menyenangkan ini. Saya malah mengalami kerusakan case lock saat ingin membuka koper dan memisahkan laptop dari sana. Mungkin dia tidak ingin berpisah karena itu menyakitkan?

Ta-da! Jadilah saya dibuntuti kemana-mana oleh petugas imigrasi karena dianggap mencurigakan. Singkat cerita, setelah penjelasan panjang lebar, akhirnya saya dinyatakan tidak bersalah. Tok tok tok.

Well, hanya dengan melihat bandara saja, pantaslah setiap orang berdecak kagum akan kemegahannya. Tidak heran, sebab pada tahun 2003 silam, airport Changi mulai memenangkan penghargaan sebagai “World’s Best Airport” selama 16 kali berturut-turut dari majalah bisnis Business Travel Inggris/Eropa.

Wi-Fi
Saya sangat kesulitan koneksi internet begitu memasuki Singapura (iyalah namanya juga lagi roaming!). Daripada bayar 149 ribu sehari untuk provider I*3, saya lebih baik menggunakan koneksi Wi-Fi bandara yang kuenceng abez! Koneksi ini bisa di set up di kiosk atau information counter yang tersebar di bandara. Tinggal scan paspor, kemudian lima digit password muncul di layar. Lalu, ketikkan password melalui smartphone setelah menjelajah situs www.ishopchangi.com. Saya bisa memilih 3 atau 24 jam pemakaian.

Wi-Fi kiosk yang bisa juga digunakan untuk check in.

Saya dapat print out password jika bertanya ke information desk. Bisa minta untuk beberapa devices sekaligus!

Uang
Untungnya saya sudah tukar di Indonesia. Tetapi jika memang lagi nggak pegang uang sama sekali, tentu bisa menukar lewat money changer yang ada di bandara. Saran saya sih mending tukar di Indonesia. Nilai tukarnya 10.000 Rupiah untuk 1$ Singapura waktu saya tukar di Bali. Mehong cyiiin!.

Transportasi
Berhubung saya punya waktu yang cukup sempit, saya memilih ke hotel naik taksi (dan akhirnya kemana-mana juga pakai taksi… padahal niatnya coba nge-bolang pakai MRT atau bus, hiks). Saya tercengang begitu melihat taksi bandara yang sangat rapi, parkirnya memiliki nomor dan petugas disana langsung menyebutkan nomor parkir taksi yang harus saya datangi. Supir taksi yang mengantar saya luar biasa informatif.
Mungkin ada yang mau nambahin pengalamannya pakai transportasi disana? Silahkan input di kolom komentar 🙂

Perjalanan menuju hotel dimulai dari argo $3.20, kurang lebih ditempuh selama 35 menit. Sepanjang perjalanan menuju hotel, apartemen ‘berserakan’ di tepi jalan utama. Kalau di Indonesia sih kita menyebutnya rumah susun, cuma yang ini lebih rapi dan tertata. Rumah-rumah tidak langsung bersisian dengan badan jalan, namun diselingi oleh pedestrian, pohon perindang jalan, lalu taman, baru deh deretan apartemen tinggi. Terbatasnya ruang di Negara Singapura menjadikan negara ini harus pintar-pintar dalam hal pengelolaan tempat tinggal penduduknya. Maka dari itu, Apartemen atau Rumah Susun menjadi solusi utama bagi tempat tinggal penduduk Singapura. Hampir 9 dari 10 orang Singapura tinggal di rumah apartemen umum. Begitu penjelasan bapak supir taksi. 

Scotts Road di jam makan siang terpantau sibuk. Begitu turun dari taksi, lalu lalang orang berbaur terarah menuju kedai kopi, restoran dan cafe-cafe yang tersebar di tepi pedestrian dekat halte bus. Supir taksi menurunkan koper saya dengan sigap. Setelah membayar dan mengucapkan matur nuwun, saya bersiap menarik koper menuju lobby.

Bruakkk.

Baut-baut tetiba meluncur manis ke berbagai arah setelah saya menarik pegangan koper dengan penuh semangat. Oops. Ooooopppsss!!!

Malu luar biasa.

to be continued…

Baca juga: Traveling Pertama ke Singapura (Part II)

Thank you for reading!