Hari kelima di bulan Juni. Ide fresh masih bertebaran di otak, hanya saja saya perlu mencuri-curi waktu di sela jam makan siang untuk ngetik beberapa ratus kata biar enak dibaca.

Working with the Bule(s) menjadi topik yang terlintas ketika memasuki hari Senin. Hari paling gabrur sedunia —bahasa opo iki toh, Nduk? Banyak bule-bule berdatangan ke kantor (a.k.a sekolah) buat belajar, disamping bos sendiri adalah seorang bule, sih. Minggu berganti, bule baru silih berganti datang dan pergi.

The team-mate

Banyak teman baru!

Mayoritas orang yang mendengar tempat saya bekerja mungkin berpendapat asyik banget ya, kerja sama bule. Pasti gajinya gede. Gaji itu relatif, man. Nggak mesti kerja sama bule baru bisa dapat gaji gede. Wirausaha juga bisa. Pinter-pinternya kita aja menyesuaikan diri dengan posisi kerja dan tanggung jawab, niscaya kenaikan gaji akan mengikuti. Well, menurut saya… ada enak dan enggaknya kerja dan berhadapan setiap hari sama orang asing. Benefit-nya buat saya, misalnya:

  1. Les bahasa Inggris 8 jam sehari. Gratis. *prok prok prok*
  2. Selalu dilibatkan dalam kondisi apapun untuk tahu permasalahan dan situasi kantor. Setiap rapat sering dimintain pendapat dan apapun yang saya diajukan, selama masuk akal dan memungkinkan, pasti selalu akan dihargai. Nah, lain halnya kalau nggak setuju sama sesuatu, alasan dibalik ketidaksetujuan itu harus benar-benar jelas.
  3. Kondisi yang berhubungan dengan orang banyak selalu diputuskan melalui vote.
  4. Paling bikin saya betah nih, nggak ada yang namanya nepotisme. Sebagus apapun usaha dan hasil kerja keras yang saya lakukan akan mendapatkan reward sepadan.
  5. Di balik keribetan yang saya rasakan, saya benar-benar ditempa menjadi pekerja yang profesional.   Tiap hari, beban pekerjaan mengharuskan saya banyak belajar dan beradaptasi dengan ritme yang super cepat. Bos itu sering menetapkan standar yang tinggi untuk karyawannya (baca: tahan banting). Saya bisa belajar multitasking, misalnya saat ada panggilan telepon masuk, saya harus masih tetap mengetik balasan email di komputer.
  6. Pergaulan semakin luas, dan punya banyak koneksi internasional karena seringnya ngobrol pas jam makan siang dan mendengarkan pengalaman mereka, terutama cerita menarik mengenai travelling mereka.
  7. Boleh mix and match pakaian kalau ke kantor. Mau style kaya eks-mud, pakaian kerja sekalian hang out, atau style ala film “Driving Miss Daisy” juga oke aja.
  8. Sering ada perayaan. Pokoknya sering aja. 

Nggak enaknya kerja di tempat dengan embel-embel ‘internasional’:

  1. Tanggal merah masuk. Sabtu masuk. Siap reply email kapan aja dimana aja.
  2. Semua mesti cepat dan tepat. Selain itu, pekerjaan yang diambil nggak cuma benar-benar satu, tapi beberapa bersamaan.

Masih berminat juga untuk mencoba bekerja dengan bule? Saya beri tips bagaimana cara ‘mencari’ dan ‘tahan banting’ kerja di lingkungan seperti ini:

Pertama, bahasa Inggris itu jadi modal mutlak. Banyak dari mereka yang tinggal lama di Indonesia tapi malas belajar bahasa kita. Kalau kamu nggak bisa, dia nggak bisa, emangnya mau pakai bahasa isyarat?

Kedua, loyalitas. Orang bule itu menilai loyalitas dan komitmen sebagai barang berharga. Niatnya cuma coba-coba aja? Atau pengen serius tapi datang telat terus? Siap-siap aja diajakin ngopi di tempat kece plus… diminta untuk tanda tangan surat pemutusan kontrak.

Ketiga, target oriented. Mengerjakan sesuatu dengan target itu suatu keharusan. Pekerjaan selesai tepat waktu itu kewajiban.

Sisanya sih kamu cuma perlu jujur dan rajin. Persyaratan teratas dari semua pemilik perusahaan pencari karyawan, bukan hanya orang asing. Se-simple itu kan?

Suasana xmas December 2016

Anyway, terlepas dari minat bekerja di perusahaan asing atau tidak, pemiliknya bule atau lokal, kamu sudah diterima kerja, masih terus mencari atau lebih bagus lagi membuat lapangan kerja sendiri, yang perlu diingat adalah bekerja itu menjadi satu fase baru untuk belajar setelah menempuh pendidikan formal. Bekerja menjadi pembuktian diri untuk bisa bertanggung jawab dan mandiri.